Kesunahan Puasa Rajab
Selasa, 28 Maret 2017
0
komentar
Setiap memasuki bulan Rajab, sebagian umat Islam berpuasa sunah dan
masyarakat menyebutnya puasa Rajab. Di beberapa kitab fikih juga
dijelaskan kesunahan puasa ini, dan hampir semua madzhab menyatakan
sunah puasa pada bulan ini. Hanya kemudian, ada sekelompok orang yang
menyatakan bid’ah. Alasan terbesarnya, karena hadisnya dha’if. Sebagian
orang menanggapinya, apakah untuk puasa saja, menunggu dalil shahih?
Bukankah Rasulullah juga berpuasa di selain bulan Ramadhan?
Memang harus diakui bahwa mengenai status hukum puasa Rajab ini terjadi khilaf di antara ulama antar madzhab. Dari tiga madzhab fikih, yakni Hanafi, Maliki dan Syafi’i menyatakan bahwa puasa bulan Rajab adalah sunah. Kesunahan berlaku selama 30 hari. Pendapat ini juga menjadi qaul di kalangan madzhab Hanbali.
Hanya berbeda sedikit dari kalangan madzhab Hanbali, terutama pada puasa penuhnya. Banyak di kalangan ulama madzhab ini yang berpendapat bahwa puasa Rajab secara penuh 30 hari hukumnya makruh. Ini pun apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan lainnya. Hukum makruh ini akan hilang jika tidak berpuasa dalam satu atau dua hari pada bulan Rajab. Atau, dengan 30 hari di bulan Rajab yang disertai dengan puasa pada bulan yang lain.
Terkait dengan beberapa pendapat di atas, berikut beberapa komentar ulama;
Mewakili madzhab Hanafi, dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah (1:202) disebutkan,“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
Adapun dalam madzhab Maliki, disebutkan dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2:241). Ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata, “….dan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram, bulan haram pertama, bulan Rajab, bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan Hasyiahnya disebutkan maksud perkatakan penulis ‘dan bulan Rajab’, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat. Yang paling utama adalah bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).
Dalam madzhab Syafi’i, cukup diwakili oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab-nya (6:439). Dalam kitab tersebut disebutkan:
“Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan, ‘Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Sementara ar-Ruyani mengatakan dalam kitab al-Bahr, ‘Yang paling utama adalah bulan Rajab’. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena ada hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini—insya Allah—bahwa puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.’”.
Sementara dalam madzhab Hanbali, mewakilinya adalah Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi yeng menyinggung dalam kitab al-Mughni (3:53). Dalam hal ini, beliau mengatakan:
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”
Lantas, apa dasar ulama menyatakan demikian? Pertama, hal di atas didasari oleh keutamaan puasa sunah secara mutlak pada selain bulan Ramadhan, bukan hanya pada bulan-bulan mulia (Asyhur al-Hurum). Terdapat sederetan hadis yang menjelaskan hal tersebut. Ibn Hajar dalam fatwanya yang mengutip fatwa Imam Ibn ‘Abd as Salam (2:53), misalnya, menyebut hadis-hadis berikut:
Memang harus diakui bahwa mengenai status hukum puasa Rajab ini terjadi khilaf di antara ulama antar madzhab. Dari tiga madzhab fikih, yakni Hanafi, Maliki dan Syafi’i menyatakan bahwa puasa bulan Rajab adalah sunah. Kesunahan berlaku selama 30 hari. Pendapat ini juga menjadi qaul di kalangan madzhab Hanbali.
Hanya berbeda sedikit dari kalangan madzhab Hanbali, terutama pada puasa penuhnya. Banyak di kalangan ulama madzhab ini yang berpendapat bahwa puasa Rajab secara penuh 30 hari hukumnya makruh. Ini pun apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan lainnya. Hukum makruh ini akan hilang jika tidak berpuasa dalam satu atau dua hari pada bulan Rajab. Atau, dengan 30 hari di bulan Rajab yang disertai dengan puasa pada bulan yang lain.
Terkait dengan beberapa pendapat di atas, berikut beberapa komentar ulama;
Mewakili madzhab Hanafi, dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah (1:202) disebutkan,“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
Adapun dalam madzhab Maliki, disebutkan dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2:241). Ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata, “….dan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram, bulan haram pertama, bulan Rajab, bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan Hasyiahnya disebutkan maksud perkatakan penulis ‘dan bulan Rajab’, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat. Yang paling utama adalah bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).
Dalam madzhab Syafi’i, cukup diwakili oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab-nya (6:439). Dalam kitab tersebut disebutkan:
“Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan, ‘Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Sementara ar-Ruyani mengatakan dalam kitab al-Bahr, ‘Yang paling utama adalah bulan Rajab’. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena ada hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini—insya Allah—bahwa puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.’”.
Sementara dalam madzhab Hanbali, mewakilinya adalah Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi yeng menyinggung dalam kitab al-Mughni (3:53). Dalam hal ini, beliau mengatakan:
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”
Lantas, apa dasar ulama menyatakan demikian? Pertama, hal di atas didasari oleh keutamaan puasa sunah secara mutlak pada selain bulan Ramadhan, bukan hanya pada bulan-bulan mulia (Asyhur al-Hurum). Terdapat sederetan hadis yang menjelaskan hal tersebut. Ibn Hajar dalam fatwanya yang mengutip fatwa Imam Ibn ‘Abd as Salam (2:53), misalnya, menyebut hadis-hadis berikut:
يَقُوْلُ اللهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمُ
“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”
“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”
إِنَّ أَفْضَلَ الصِّيَامِ صِيِامُ أَخِيْ دَاوُدَ كَانَ يَصُومَ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Daud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.”
Sementara Imam asy-Syaukani mengatakan dalam kitab Nail al-Authar (4:291), “Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan mulia, sedangkan Rajab termasuk bulan mulia berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnah secara mutlak.”
Adapun dalil yang secara tersurat menyebut Rajab, di antaranya adalah hadis riwayat Imam Nasai berikut (4:201):
“Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Daud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.”
Sementara Imam asy-Syaukani mengatakan dalam kitab Nail al-Authar (4:291), “Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan mulia, sedangkan Rajab termasuk bulan mulia berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnah secara mutlak.”
Adapun dalil yang secara tersurat menyebut Rajab, di antaranya adalah hadis riwayat Imam Nasai berikut (4:201):
عن أسامة بن زيد قال قلت: يا رسول الله لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ شَهْراً مِنَ
الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ
النَّاسُ عَنْهُ بَينَ رَجَب وَرَمَضَانَ
“Dari Usamah bin Zaid, berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.”
Terkait dengan hadis ini, Imam asy-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar (4:291), “Hadits Usamah ini, jelasnya menunjukkan kesunnahan puasa Rajab. Hal ini, tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”
Selebihnya, terdapat sederetan dalil yang dijelaskan oleh ulama terkati puasa Rajab yang memiliki porsi penting untuk dijalankan, selain yang disebutkan dalam tulisan ini. Kalaupun kemudian dinilai lemah (dha’if) menurut standart kritik hadis, bukan berarti tidak bisa diamalkan secara total. Ada banyak penjelasan ulama, terkait pengamalan hadis dha’if, khususnya dalam masalah Fadhail al-A’mal.
Belum lagi, penilaian dhaif oleh Muhadditsin tidak dapat mendekonstruksi hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid, karena bisa jadi sang mujtahid memiliki standart penilaian hadis sendiri. Karena itulah, mengapa kebanyakan Muhaddis, meski hapal ribuan hadis tetap bermadzhab. Terlebih pada kasus ini terdapat banyak riwayat yang merupakan salah satu indikasi adanya kekuatan lain dari sudut komparatif (i’tibar).
Intinya, puasa adalah salah satu ibadah yang tidak hanya diperuntukkan saat bulan Ramadhan. Puasa dalam setiap hari pun tidak ada larangan, kecuali dalam beberapa hal yang telah ditetapkan. Termasuk puasa di bulan mulia (haram) dan bulan Sya’ban ini. Sebagaimana hadis di atas, bulan Sya’ban sering dilupakan, karena telah sibuk dengan puasa di dua bulan; Rajab dan Ramadhan.
“Dari Usamah bin Zaid, berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.”
Terkait dengan hadis ini, Imam asy-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar (4:291), “Hadits Usamah ini, jelasnya menunjukkan kesunnahan puasa Rajab. Hal ini, tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”
Selebihnya, terdapat sederetan dalil yang dijelaskan oleh ulama terkati puasa Rajab yang memiliki porsi penting untuk dijalankan, selain yang disebutkan dalam tulisan ini. Kalaupun kemudian dinilai lemah (dha’if) menurut standart kritik hadis, bukan berarti tidak bisa diamalkan secara total. Ada banyak penjelasan ulama, terkait pengamalan hadis dha’if, khususnya dalam masalah Fadhail al-A’mal.
Belum lagi, penilaian dhaif oleh Muhadditsin tidak dapat mendekonstruksi hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid, karena bisa jadi sang mujtahid memiliki standart penilaian hadis sendiri. Karena itulah, mengapa kebanyakan Muhaddis, meski hapal ribuan hadis tetap bermadzhab. Terlebih pada kasus ini terdapat banyak riwayat yang merupakan salah satu indikasi adanya kekuatan lain dari sudut komparatif (i’tibar).
Intinya, puasa adalah salah satu ibadah yang tidak hanya diperuntukkan saat bulan Ramadhan. Puasa dalam setiap hari pun tidak ada larangan, kecuali dalam beberapa hal yang telah ditetapkan. Termasuk puasa di bulan mulia (haram) dan bulan Sya’ban ini. Sebagaimana hadis di atas, bulan Sya’ban sering dilupakan, karena telah sibuk dengan puasa di dua bulan; Rajab dan Ramadhan.
(https://www.facebook.com/sidogirimedia/posts/1289362407814517)